
Tak hanya manusia wajib bersekolah, orangutan pun sebelum dilepaskan ke alam bebas, mereka juga diwajibkan mengikuti proses belajar. Mau tahu ceritanya? Rahma Shofiana berbagi cerita seputar aktivitas sekolah orangutan di Samboja, Balipapan Kalimatan Timur.
Hari ini langit tampak cerah bersahabat, tidak seperti hari-hari sebelumnya yang selalu digelayuti mendung. Satu buah karung berisi mangga dan lebih dari 10 tandan pisang diturunkan dari mobil yang mengangkut suplai buah untuk dibawa ke sekolah hutan.
Kemudian salah satu teknisi sekolah hutan, mengambil arco untuk membawa buah ke gudang. Ketika arco diparkir di depan kandang orangutan, serempak orangutan yang berada di dalam kandang menepi ke arah kami berdatangan, tepatnya melihat ke arah buah-buah yang ada di dalam arco yang di parkir tersebut.
Terhitung ada 18 individu orangutan yang saat ini sedang dalam tahap belajar menjadi ‘orangutan’ kembali. Mereka dibagi ke dalam dua level yaitu level 1 adalah untuk mereka yang usianya dibawah 3 tahun, sedangkan level 2 adalah bagi mereka yang berusia 3-5 tahun. Tidak hanya umur yang menjadi penentu kategori level namun juga kemampuan mereka bertahan alam. Orangután-orangutan yang berada di level 2 biasanya sudah pandai membuat sarang, atau memperbaharui sarang, sementara di level 1 belum.
Ada 4 kemampuan dasar (survival skill) yang dipelajari orangután di sekolah hutan yaitu yang pertama pemanfaatan ketinggian, pada dasarnya orangután adalah satwa arboreal dimana seluruh aktivitas hariannya dihabiskan diatas pohon. Teknisi harus meneriaki mereka agar orangután mau naik ke atas pohon. Sebut saja Raymond, Dodo, Derek, Febri, dan Robert adalah orangután yang kerap kali diteriaki oleh teknisi agar mereka mau memanjat pohon.
Kemudian salah satu teknisi sekolah hutan, mengambil arco untuk membawa buah ke gudang. Ketika arco diparkir di depan kandang orangutan, serempak orangutan yang berada di dalam kandang menepi ke arah kami berdatangan, tepatnya melihat ke arah buah-buah yang ada di dalam arco yang di parkir tersebut.
Terhitung ada 18 individu orangutan yang saat ini sedang dalam tahap belajar menjadi ‘orangutan’ kembali. Mereka dibagi ke dalam dua level yaitu level 1 adalah untuk mereka yang usianya dibawah 3 tahun, sedangkan level 2 adalah bagi mereka yang berusia 3-5 tahun. Tidak hanya umur yang menjadi penentu kategori level namun juga kemampuan mereka bertahan alam. Orangután-orangutan yang berada di level 2 biasanya sudah pandai membuat sarang, atau memperbaharui sarang, sementara di level 1 belum.
Ada 4 kemampuan dasar (survival skill) yang dipelajari orangután di sekolah hutan yaitu yang pertama pemanfaatan ketinggian, pada dasarnya orangután adalah satwa arboreal dimana seluruh aktivitas hariannya dihabiskan diatas pohon. Teknisi harus meneriaki mereka agar orangután mau naik ke atas pohon. Sebut saja Raymond, Dodo, Derek, Febri, dan Robert adalah orangután yang kerap kali diteriaki oleh teknisi agar mereka mau memanjat pohon.

Jika ada pucuk daun atau sarang rayap yang mereka temukan di dalam hutan, maka para teknisi akan mengambilnya dan menunjukkan bagaimana caranya memakan jenis makanan tersebut. Beberapa orangután seperti Ajeng, Leony, Bungan, dan Long sudah mampu mengenali jenis pakan alami lebih dari 5 jenis setiap harinya.
Kemampuan selanjutnya adalah orangután harus mampu membuat sarang sebagai tempat untuk mereka beristirahat di malam hari. Di alam, orangután akan membuat sarang ketika menjelang malam. Bahkan saat istirahat siang, orangután terkadang juga membuat sarang. Fungsi sarang selain sebagai tempat berisitirahat, juga digunakan untuk tempat berlindung ketika hujan atau panas yang amat terik. Orangután biasa membuat sarang pada percabangan pohon yang berjenis kayu keras.

Leony , Signe, dan Bungan merupakan salah satu contoh orangután yang sangat pandai membuat sarang. Kemampuan mereka dalam membuat sarang patut diacungi jempol. Terkadang sarang yang mereka buat tidak hanya untuk berisitirahat tetapi juga untuk bermain di dalam sarang.

Namun, predator yang lebih utama dan sesungguhnya adalah manusia itu sendiri. Itu sebabnya, orangután di sekolah hutan dibuat takut terhadap manusia. Keterikatan dan interaksi dengan teknisi secara perlahan-lahan dikurangi. Ayu, Koordinator Sekolah Hutan, mengatakan bahwa masih banyak orangután yang sering berinteraksi dengan teknisi contohnya antara lain Raymond, Dodo, Arnold, Hanung, dan Febri.
Selain mengajarkan orangután, ternyata teknisi juga diberikan pembekalan agar mereka bisa mengambil data tentang aktivitas harian orangután. Data tersebut dicatat dalam kertas yang disebut ethogram, atau data perilaku. Di dalam ethogram, terdapat kode-kode khusus yang menunjukkan perilaku orangután.
Kode-kode tersebut dibagi-bagi ke dalam kategori seperti memanjat pohon berikut level ketinggian, makan dan jenis yang dimakan, sosialisasi, membuat sarang berikut level ketinggian. Semua perilaku, pergerakan dicatat menggunakan ethogram tersebut dengan interval waktu 2 menit.
Tujuan pengamatan ini adalah untuk melihat kemajuan dan kesiapan orangutan setiap harinya. Dari data tersebut akan didapat siapa-siapa saja yang sudah menguasai kemampuan dasar survival tersebut, dan bagaimanakah perkembangannya. Data tersebut juga akan dipakai untuk menentukan orangutan yang masuk ke dalam kandidat pelepasliaran (releasable).
Besar harapan saya untuk dapat melihat mereka kembali ke alam liar. Saat saya mengunjungi sekolah hutan beberapa waktu lalu, beberapa dari mereka mendekati dan mencari perhatian saya. Mungkin karena saya orang baru di sekolah hutan, sehingga membuat mereka penasaran dengan apa yang saya bawa dan yang akan saya lakukan. Setiap kali mata ini bertatapan dengan mata mereka, ada hasrat yang saya baca disitu.
Hasrat ingin kembali ke alam bebas, mata mereka berbicara, “Aku ingin hidup”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar