![]() |
Potret pembakaran di Taman Nasional Subangau, Kalimantan Tengah. Foto : Bina Karo/Beritalingkungan.com. |
Kegiatan revisi PIPIB ini merupakan salah satu amanat dari
Instruksi Presiden (Inpres) nomor 10 tahun 2011 tentang Penundaan Ijin Baru dan
Penyempurnaan Tata-kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
“Penerbitan peta ini harus
paralel dengan pembenahan prosedur perijinan yang menjadi faktor penting dalam
perbaikan tata kelola hutan di Indonesia kebijakan moratorium yang sudah
berjalan selama satu setengah tahun dan akan segera berakhir Mei 2013,” kata Christian
Purba, Ketua Badan Pengurus Forest Watch Indonesia (FWI) melalui keterangan
tertulisnya yang diterima Beritalingkungan.
Menurut Christian Purba,
hingga saat ini belum tanda-tanda yang
menunjukkan adanya perbaikan terkait proses perijinan termasuk melakukan review
ijin di sektor hutan, kebun dan tambang skala besar.
Sejauh ini FWI masih menemukan pelanggaran terhadap pelaksanaan
Inpres tersebut, masih ditemukannya aktifitas pembukaan lahan gambut yang
teridentifikasi di dalam wilayah moratorium dan belum terbukanya proses
perijinan, merupakan fakta yang ditemukan di lapangan.
FWI juga menilai amanat perbaikan tata kelola hutan masih jauh
dari harapan, produk kebijakan yang diterbitkan belum menyentuh pada
penyelesaian akar masalah sebenarnya. Keterbukaan proses perijinan, konflik
tenurial, penegakan hukum dan koordinasi antar instansi pemerintah masih
menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Sehingga terkesan revisi
PIPIB hanya sekedar pemenuhan salah satu capaian dari Inpres moratorium.
“Pertanyaan selanjutnya
adalah bagaimana dengan amanat perbaikan tata kelola dan implementasi di lapangan? Karena di sinilah kunci bagi
penyelamatan hutan hutan Indonesia, termasuk menjawab isu ekologi dan sosial di sektor kehutanan,”ujarnya.
Jika revisi PIPIB lanjut Christian Purba, mempunyai kecenderungan
hanya untuk menggambarkan obyek moratorium (hutan alam primer dan lahan gambut),
sementara hutan alam sekunder masih terus dibabat serta wilayah konservasi dan lindung
terus dijarah, maka kehancuran hutan alam tersisa kita masih terus berlanjut.
“Hal lain yang kami temukan adalah adanya persoalan transparansi
proses perijinan dan peminggiran hak-hak masyarakat adat dan lokal. Tidak mengherankan
jika konflik sosial dan tenurial sangat sering kita temukan pada konteks pengelolaan
sumber daya alam khususnya sektor kehutanan,”kata Dwi Lesmana, Kepala Divisi Riset FWI
menambahkan.
Dari sisi ekologis lanjut Dwi Lesmana, lahan gambut merupakan
ekosistem yang rentan, pembiaran terjadinya kebakaran lahan gambut,
dikonversinya menjadi bentukan ekosistem lain dan ketidakterjagaan akses pada
lahan tersebut pada akhirnya turut meniadakan arti dari moratorium.
Dari kondisi ini yang paling terkena dampak adalah masyarakat adat
dan lokal sebagai pemanfaat langsung dari kondisi yang ada, pengetahuan ada
namun tidak memiliki asa untuk meramu karena sumberdaya yang diketahuinya telah
hilang.
Dwi Lesmana menilai, meskipun Pemerintah Indonesia telah mengatakan
adanya penurunan signifikan atas angka deforestasi di Indonesia, yaitu sekitar
500,000 Ha per tahun, tetapi tanpa ada data pendukung yang resmi serta
bagaimana angka tersebut diperoleh, tentu saja akan menyisakan pertanyaan bagi
publik, termasuk masyarakat internasional.
“Karena kenyataan di lapangan membuktikan penghancuran hutan masih
terus terjadi secara sistematis melalui politik perijinan. Kondisi ini haruslah
menjadi bahan refleksi bagi pemerintah mengenai pentingnya transparansi data
dan mengupayakan lebih serius usaha penyelamatan hutan seperti komitmen
Presiden SBY,”tandasnya. (Marwan Azis).