
Bagi yang senang dengan dunia petualangan alam terutama pendakian, tentu sudah terbiasa menyaksikan kerapatan hutan tropis berikut kekayaan flora fauna di dalamnya. Namun tak banyak yang menyadari kalau dibalik vegetasi itu, Tuhan menciptakan kita sebuah apotik alam yang sangat berguna bagi kesehatan umat manusia.
Indonesia mestinya bersyukur karena dikaruniai
kekayaan sumberdaya alam yang tiada taranya. melimpah, terutama hutan hujan
tropis yang kaya dengan keaneragaman hayati dan menjadi sumber bahan baku
obat-obatan.
Hutan yang
terbentang di belasan ribu pulau mengandung berbagai jenis flora dan fauna, yang kadang
tidak dapat dijumpai di bagian Bumi lainnya dan merupakan salah satu negara Mega Biodiversity
(kekayaan akan keanekaragaman hayati ekosistem, sumber daya genetika dan
spesies yang sangat berlimpah). Tidak kurang dari 47 jenis ekosistem alam yang
khas sampai jumlah spesies tumbuhan berbunga
yang sudah diketahui, sebanyak 11% atau sekitar 30.000 jenis dari seluruh
tumbuhan berbunga di dunia. Sayangnya, beberapa jenis tumbuhan tertentu
mengalami kepunahan.
Sampai saat ini,
pusat konservasi tumbuhan Kebun Raya Bogor-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) serta tiga cabangnya (Kebun Raya Cibodas, Purwodadi, dan Bedugul Bali)
baru mengoleksi 20% total jenis tumbuhan yang ada di Indonesia. Berdasarkan
data yang ada terdapat 2 juta spesies tumbuhan di dunia dan 60%-nya ada di
Indonesia.
Hutan hujan
tropis kini berhadapan dengan pembalakan dan konversi lahan yang berlangsung
massif yang hanya mengejar kepentingan ekonomi semata tanpa
mempertimbangkan keseimbangan ekosistem. Pohon-pohon hutan tropis terus
ditebangi, kayunya dijadikan mebel, lahannya dijadikan ladang sawit atau
kedelai.
Padahal hutan
hujan menyerap CO2 dan tempat hidup sekian banyak jenis fauna dan flora. Hutan
hujan adalah sumber kekayaan alam di bumi. Hutan hujan disebut juga
sebagai apotik alam raksasa. Tempat hidup tanaman, jamur, bakteri sebagai hasil
perkembangan yang berlangsung jutaan tahun. Tanamannya dimanfaatkan untuk
pengobatan.
Antaranya; Catharanthus roseus dari Madagaskar untuk pengobatan kanker. Bixa orellana dari Brasil untuk pengobatan bronkitis. Prunus africana, kulit pohonnya untuk pengobatan infeksi dan pembengkakan. Chinchona succirubr dan chinchona pubescens untuk anti malaria dan gangguan ritme jantung. Nenas atau ananas comusus untuk gangguan pencernaan. Dan banyak tanaman lainnya yang belum dimanfaatkan.
Dengan melestarikan hutan hujan tropis, Indonesia berpontensi memperoleh pendapatan dari keanekaragaman hayati sebesar 1 triliun dollar AS. Pemerintah harus serius menggarap potensi ini dengan mengambil bibit tanaman obat dari kawasan hutan untuk dibudayakan masyarakat sekaligus dilestarikan.
Potensi
pendapatan itu berasal dari nilai rata-rata tanaman obat di hutan tropis
dikalikan kawasan hutan seluas 75,9 juta hektar dengan nilai keanekaragaman
hayati global 13.278 dollar AS per hektar per tahun.
Saat ini,
perdagangan tanaman obat dan rempah nasional baru menghasilkan devisa rata-rata
300 juta dollar AS per tahun. Nilai ini masih berpeluang ditingkatkan apabila
pemerintah lebih seriusmendaftarkan tanaman obat tersebut ke Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO).
Salah satu
tanaman obat yang sangat diminati pasar adalah dragon blood (getah jernang)
yang banyak terdapat di kawasan hutan Gunung Leuser di Aceh Tamiang, Nanggroe
Aceh Darussalam, dan Kalimantan. Bahan baku Bahan baku produk kesehatan itu
bernilai Rp 800.000 per kilogram di pasaran.
Walau getah
jernang merupakan produk asli Indonesia, produk tersebut telah banyak
dipasarkan oleh Singapura, yang juga telah mematenkannya dengan merek Lion.
Kondisi serupa juga terjadi pada tanaman obatpasak bumi asal Kalimantan. Akibat
kelalaian Indonesia, Malaysia telah memiliki hak paten pasak bumi dan
memproduksinya. Nah tunggu apa
lagi yuk mari kita lestarikan hutan tropis sebagai apotik alam. (Wince Sitara)
#Penulis adalah pemerhati lingkungan yang berdomisili di Jakarta.