Oleh : Muhammad Hasrul*
![]() |
Penulis : "Yos" Muhammad Hasrul. |
Nasib rakyat tetap
sama, meski investor berlomba-lomba mengkavling tanah. Tak ada perubahan.
Dua hari lalu, saya sempat mampir di
bumi konawe utara. Menjejal jalan-jalan di ujung desa. Melewati rumah-rumah
yang berdebu dan jauh dari sebutan sejahtera. Sepanjang mata memandang hanya
terlihat pohon sawit berjejal hingga ke puncak bukit. Seluruh hutan alam telah
berganti pohon sawit. Di belakang desa, gunung-gunung mulai bolong-bolong.
Saya mampir di salah satu
perkampungan eksodus ambon di Desa Tobi Meita.
Nama desa Tobi Meita dalam bahasa setempat berarti gunung tinggi. Nama
ini diambil karena di belakang desa gugus pengunung menjulang
berderet dengan pepohonan yang rapat.
Di desa itu Saya bertemu seorang
kawan, yang juga tokoh pemuda di sana. Ia kemudian mengantar berkeliling
kampung memperlihatkan kondisi terkini di desanya. Kami melewati jalan tanah padat
berwarna kemerahan. Jalan desa ini beralih menjadi jalan produksi tambang,
dimana mobil-mobil raksasa lalulalang mengangkut ore nikel menuju pelabuhan di ujung desa.
Dari kejauhan koloni pohon di puncak
gunung mengecil merapat di sebelah utara desa. Tersisa itu saja. Sebagian hutan
telah beralih fungsi. Di bawah gunung
puluhan alat berat ‘mengamuk’, meraung-raung menggali perut gunung, mengambil
material tanah ore (nikel)-nya. Keliatannya, sebentar lagi, ‘kaki langit’ desa
tobi meita itu akan rontok.
Tak hanya gunung diterabas. Sebagian
besar tanah datar di desa telah digali dan berubah menjadi kubangan raksasa.
Warga hanya bisa meratap dan menatap nanar.
Warga setempat sempat marah besar pada perusahaan yang hanya datang
mengambil tanah, kemudian pergi meninggalkan kubangan danau sedalam lima belas
meter. Meninggalkan rasa takut bagi warga. Saya membayangkan warga desa akan
kehilangan anak-anak mereka dikubangan itu. Warga telah pula berkali-kali
menagih janji perusahaan mereklamasi ulang kubangan itu, tapi hingga kini belum
direalisasi.
Di Kendari, tak ada lagi yang mendiskusikan
nasib lingkungan dan rakyat di pelosok sana. Gerakan pro lingkungan kian
tumpul. Tak seperti dua atau tiga tahun
lalu, selalu ada rasa prihatin, selalu ada
amarah setiap kali berdiskusi di kantor dan di hotel-hotel mewah. Prihatin benar-benar prihatin.
*Penulis adalah jurnalis lingkungan yang berdomisi di Kendari dan pendiri Greenpress, sebuah organisasi jurnalis lingkungan.