![]() |
Ilustrasi tumpuhan minyak yang mencemari Laut Timor. Foto : Istimewa. |
"Kami menduga ada konspirasi segitiga antara PTTEP Australia-Indonesia-Australia dengan cara gratifikasi untuk membiarkan kasus pencemaran itu terjadi tanpa adanya sebuah proses penyelesaian secara tuntas dan menyeluruh bagi rakyat NTT yang menjadi korban dari pencemaran tersebut," kata Direktur Eksekutif Ocean Watch Indonesia Herman Jaya melalui surat elektroniknya kepada Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) di Kupang, Minggu (20/1) yang juga diterima Beritalingkungan.com.
Ocean Watch Indonesia akhirnya melaporkan kasus pencemaran minyak di Laut Timor ke Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) untuk menelusuri dugaan gratifikasi antara perusahaan pencemar PTTEP Australasia dengan pihak-pihak terkait di Indonesia maupun Australia.
Pencemaran minyak di Laut Timor itu terjadi akibat meledaknya sumur minyak Montara milik PTTEP Australasia di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009.
"Kasus ini terjadi sudah hampir empat tahun lamanya, tetapi tidak
ada proses penyelesaian apapun dari pihak perusahaan maupun dari Pemerintah
Indonesia dan Australia. Kami menduga ada konspirasi segitiga dalam bentuk
gratifikasi, sehingga memandang perlu untuk melaporkannya ke KPK," katanya.
Menurut Herman, pengakuan PTTEP Australasia (PTTEP AA) yang
dipublikasi dan disebarkan melalui apa yang dinamakan "Lembaran Fakta
PTTEP AA (PTTEP AA Fact Sheet) inilah yang dijadikan dasar pengaduan Ocean
Watch Indonesia kepada KPK.
Lembaran Fakta PTTEP AA itu menyebutkan hingga saat ini tidak ada bukti
ilmiah yang mendukung dan dapat diverifikasi telah terjadinya pencemaran di
perairan Indonesia akibat dari meledaknya sumur minyak Montara 21 Agustus 2009
lalu.
Sementara, berdasarkan pada sebuah studi ilmiah independen yang dilakukan
PTTEP AA di bawah pemantauan Pemerintah Australia menemukan bahwa sekitar 98,6
persen dari tumpahan minyak Montara di permukaan laut berada dalam perairan
Australia.
Tumpahan minyak terbesar dari Montara berada dalam radius 22,8 kilometer
dari sumber ledakan dan berjarak lebih dari 300 km dari Indonesia.
Studi ilmiah independen yang dilakukan tersebut didukung penuh dan
diperkuat oleh sebuah penelitian yang dilakukan salah satu perguruan tinggi di
Indonesia yang dibiayai oleh PTTEP AA yang menyebutkan bahwa tumpahan minyak di
perairan Indonesia telah terbawa pergi ke arah barat-selatan-barat menuju
lautan Hindia melalui aliran arus Indonesia yang sangat kencang.
Herman mengatakan PTTEP AA telah menyebar kebohongan dengan menyebut
bahwa jarak ladang Montara ke Indonesia lebih dari 300 km.
Sementara, berdasarkan lembaran dokumentasi presentasi Pemerintah Federal
Australia halaman 8 dari 38 halaman menunjukkan bahwa jarak ladang Montara
lebih dekat ke Indonesia dari pada ke Australia yakni hanya 250 km saja dari
Indonesia dan 254 km ke Australia.
"Kalaupun benar hasil penelitian PTTEP AA dengan Pemerintah
Australia menunjukkan bahwa tumpahan minyak Montara hanya berada sekitar radius
22,8 km dari ladang Montara di perairan Australia, itu berarti hanya 272,8 km
saja dari Indonesia, bukan 300 km lebih," katanya.
Herman menegaskan perairan Laut Timor yang tercemar itu berada di salah satu wilayah pusat arus lintas Indonesia (Arlindo) yang sifat arus bawah lautnya sangat kencang dan terus berputar-putar di wilayah tersebut yakni dari selatan-utara dan sebaliknya.
"Adalah sebuah kebohongan besar bila dikatakan tumpahan minyak
Montara terbawa arus kencang Indonesia dari arah barat-selatan-barat menuju
lautan Hindia," ujarnya.
Menurut PTTEP AA, kata Herman Jaya, tidak ada bukti ilmiah yang mendukung
dan dapat diverifikasi telah terjadinya pencemaran di perairan Indonesia.
"Ini juga sebuah kebohongan besar, karena PTTEP AA dan Pemerintah
Australia tidak merespons klaim penelitian ilmiah yang diajukan rakyat korban
dari Timor Barat dan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang telah disampaikan pada
2010," ujarnya.
Padahal, kata dia, antara Pemerintah Australia dan Indonesia memiliki
sebuah MoU yang ditandatangani pada 1996 tentang Pencegahan dan Penanggulangan
Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut.
Menurutnya, ada data-data ilmiah penelitian awal yang independen dan
transparan menunjukkan bahwa kerugian sosial ekonomi masyarakat diperkirakan
mencapai Rp16,9 triliun per tahun atau sama dengan 1,7 miliar dolar Amerika
Serikat.
Dugaan gratifikasi
Ocean Watch Indonesia mengemukakan dugaan kemungkinan terjadinya
gratifikasi itu antara lain PTTEP AA membayar biaya penelitian bagi sebuah
perguruan tinggi di Indonesia, pengurangan dana CSR dari 5 juta dolar AS
menjadi 3 juta dolar AS bagi korban pencemaran lewat Pemerintah Indonesia.
"Kami menduga dana CRS 2 juta dolar AS diberikan kepada salah satu
perguruan tinggi di Indonesia itu untuk melakukan penelitian secara
tertutup," katanya.
Seraya menambahkan ngototnya Deputy IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Masnelyarti Hilman dan Direktur Jenderal Perjanjian Hukum Internasional
Kementerian Luar Negeri Linggarjati untuk menandatangani MoU dengan PTTEP AA,
diduga sebagai salah satu bentuk gratifikasi.
Salah satu butir dari MoU tersebut menegaskan setelah MoU ditandatangani,
tidak ada pihak lain lagi di Indonesia yang boleh melakukan klaim atas
pencemaran Laut Timor, meskipun dalam UU Lingkungan menyatakan setiap warga
negara atau kelompok masyarakat memiliki hak untuk mengajukan klaim terhadap
pencemar lingkungan.
"Kami harapkan KPK sudah mulai memanggil para pihak yang terkait
termasuk PTTEP AA dan pejabat pemerintah Australia yang terkait guna dimintai
keterangan dalam merampungkan hasil investigasi yang telah sangat merugikan
rakyat Indonesia dan mempermalukan bangsa dan NKRI itu,"harapnya. (Marwan Azis).