![]() |
Bangau strom. Foto : Jacob Wijpkema/ Burung Indonesia |
Berdasarkan rumusan Perjanjian Ramsar tahun 1971, lahan basah (Wetland) didefinisikan sebagai daerah
rawa, paya, lahan gambut dan perairan, baik alami atau buatan, tetap atau
sementara, perairannya tergenang atau mengalir, tawar, payau atau asin, termasuk wilayah perairan laut yang
kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu air surut. Dari sini,
selanjutnya, kata Ramsar yang merupakan nama kota di Iran menjadi populer
terkait lahan basah.
Luas lahan basah di dunia diperkirakan 8.558.000
km2 atau lebih dari enam persen dari luas permukaan bumi. Indonesia
sendiri, luas lahan basahnya sekitar 20 persen dari luas daratannya yaitu
sekitar 40 juta hektar. Uniknya, tipe ekosistem lahan basah yang ada di dunia
ada di nusantara seperti kawasan laut (marin),
muara (estuarin), rawa (palustrin), danau (lakustrin), dan sungai (riverin).
Indonesia
memiliki 6 Ramsar Site (Situs Ramsar) yang merupakan
kawasan penting yang ditetapkan untuk melindungi kelestarian dan fungsi lahan
basah di dunia. Keenamnya adalah: Taman Nasional Berbak (Jambi), Taman
Nasional Sembilang (Sumatera Selatan), Tamam
Nasional Rawa Aopa Watumohai (Sulawesi Tenggara), Taman Nasional Danau Sentarum
(Kalimantan Barat), Taman Nasional Wasur (Papua), dan Suaka Margasatwa Pulau
Rambut (DKI Jakarta). Bila dibandingkan dengan luas lahan basah Indonesia
keseluruhan, tentunya situs Ramsar ini belum menyentuh angka ideal.
Lahan basah
memiliki fungsi ekologis menjaga keseimbangan ekosistem daratan maupun
perairan, baik itu habitat ataupun kehidupan tumbuhan dan satwanya. Lahan basah
juga bermanfaat bagi manusia sebagai sumber produk makanan, bahan baku
industri, obat, dan mencegah
bencana alam. Banjir yang terjadi, salah satunya dikarenakan berkurangnya lahan
basah.
Indonesia,
berdasarkan data BirdLife International (2005), memiliki 49 lokasi lahan basah
sebagai Daerah Penting bagi Burung. Selain penting bagi pelestarian, sejumlah
lokasi tersebut merupakan tempat tinggal atau singgahan dari jenis-jenis burung
terancam punah dalam jumlah yang signifikan. Rinciannya adalah 1% dari
populasi global burung air; 1% dari populasi global burung laut ataupun burung
daratan; serta 20.000 burung air atau 10.000 pasang burung laut yang berasal
dari satu jenis burung atau lebih.
Ironinya, lahan basah yang memang basah ini sering
beralih fungsi menjadi lahan pertanian, permukiman, atau tambak. Berkurangnya
lahan basah tentunya tidak hanya berdampak pada lingkungan dan kehidupan
manusia, tetapi juga membuat kehidupan burung air terdesak. Kehadiran burung
air di lahan basah merupakan pertanda alami bahwa kualitas lingkungan tersebut memanglah
baik.
Trulek jawa (Vanellus macropterus) dan bubut jawa (Centropus
nigrorufus) merupakan burung khas jawa yang hidupnya
resah di lahan basah. Dua jenis burung terancam punah berstatus Kritis (Critically Endangered/CR) untuk trulek jawa dan Rentan (Vulnerable/VU)
ini terancam karena habitat alaminya berupa rawa dan muara terganggu. Trulek jawa sendiri merupakan salah satu
burung paling langka di dunia yang hingga kini para ahli burung masih melacak keberadaannya
di pesisir pantai maupun lahan basah di Pulau Jawa.
Sementara, jenis bangau yang tergabung dalam
suku Ciconiidae seperti bangau tongtong,
bangau bluwok, atau bangau storm yang memang senang di lahan basah tidak
jauh berbeda. Nasib mereka terancam punah juga.
Lahan basah
memang harus di awasi dan diketahui penggunaannya. Mengingat, lahan basah
berguna bagi kehidupan flora, fauna, dan manusia. Bagi burung, di lahan basah , mereka mencari makan,
istirahat, dan berbiak. Pembangunan dan pengelolaan lingkungan yang
tidak memperhatikan lahan basah, sudah waktunya ditinjau kembali keberadaannya. (Rahmadi)
Video : Burung Bangau di Srondol, Semarang.
Video : Burung Bangau di Srondol, Semarang.