JAKARTA, BL- Wahana lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Koalisi Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global, kembali menyoroti moratorium hutan berdasarkan Instruksi Presiden nomor 10 tahun 2011 yang akan berakhir di bulan Mei 2013 harus diperkuat dan diperpanjang.
Tujuan yang selama ini berjudul penundaan pemberian izin baru dan pernyempurnaan tata kelola hutan harus berubah menjadi “moratorium pengrusakan hutan dan evaluasi perizinan.” Kebijakan moratorium mainstream yang selama 2 tahun ini masih berbasis wewenang perizinan dari kepala daerah harus diperkuat dengan cara dikendalikan dari pusat oleh peta indikatif penundaan izin baru oleh Kementerian Kehutanan.
Zenzi Suhadi, Juru
Kampanye Hutan, WALHI, mengkritisi, moratorium berbasis izin selama
2 tahun ini tidak efektif karena cenderung lebih mengedepankan
pertimbangan politis, kepentingan dan kewenangan pemegang wewenang
regulasi, dan pemegang hak kelola wilayah sehingga tidak memberikan
efek yang signifikan terhadap perbaikan fungsi lingkungan.
Moratorium
dengan pola revisi wilayah dan luasan secara periodik ini justru
menjadi wadah pengampunan bagi perusahaan yang sudah memiliki izin di
atas kawasan hutan, baik legal maupun ilegal. Dalam revisi yang
dilakukan setiap 6 bulan sekali, terjadi pengurangan wilayah
moratorium untuk mengakomodasi kepentingan pelaku usaha yang
konsesinya tumpang tindih dengan PIPIB”.
Amanat perbaikan
tata kelola kehutanan seperti yang tersurat di INPRES no 10/2011,
sejauh ini tidak terjadi bahkan menjadi semakin absurd dengan
dikedepankannya RUU P2H.
Sementara itu, menurut Rahma Mary,
Koordinator Program Pembaruan Hukum dan Resolusi Konflik Perkumpulan
HuMa, selain tidak mengakui keberadaan hutan adat, RUU ini
diberlakukan di atas kawasan hutan yang belum pasti, yaitu kawasan
hutan yang baru ditunjuk, belum ditetapkan. Padahal menurut putusan
MK No.45/2011, yang disebut kawasan hutan adalah yang sudah
ditetapkan.
Kedua hal tersebut memperparah potensi kriminalisasi
terhadap masyarakat hukum adat yang tinggal disekitar hutan.
Sebagaimana diketahui, RUU ini juga memuat definisi yang longgar
tentang pembalakan liar, yang akibatnya justru mengena pada
masyarakat hukum adat yang memanfaatkan sumber daya hutan sebagai
kebiasaan sehari-hari.
Moratorium berbasis
kewenangan perizinan ini juga terbukti telah disiasati oleh banyak
kepala daerah dengan memasukan konsesi perkebunan dan pertambangan di
dalam usulan pengkajian ulang (review)
kawasan hutan dalam RTRW. Sampai dengan Juli 2012, proses alih fungsi
dan perubahan peruntukan kawasan hutan untuk kawasan administratif
daerah dan kepentingan pembangunan sudah mencapai 12,35 juta hektar,
yang terakhir di Papua berpotensi kehilangan hutan ratusan ribu Ha
dan juga Aceh berpotensi kehilangan jutaan hektar hutannya karena
proposal Tata Ruang yang baru.
Menurut mereka, moratorium
hutan seharusnya berbasis pencapaian dengan pertimbangan fungsi
ekologis sehingga dalam menyikapi tumpang tindih, pemerintah harus
mengedepankan sikap menagih pertanggungjawaban pelaku pengrusakan dan
atau penguasaan
kawasan hutan.
Penegakan hukum dan review ijin menjadi tantangan
pertama dan belum terjawab menjelang berakhirnya moratorium di bulan
depan. Perpanjangan dan penguatan moratorium hutan
menjadi sangat penting bagi terwujudnya penyelamatan hutan dan
pengurangan emisi seperti yang menjadi komitmen rejim pemerintahan
SBY. (Marwan Azis).