![]() |
Kapal Raibow Warrior III milik Greenpeace sebulan penuh berlayar di perairan Nusantara untuk mengabadikan dan merayakan kekayaan hayati Indonesia. |
Raja Ampat merupakan salah satu wilayah di Papua yang dikunjungi Kapal Raibow Warrior dalam perjalanan tur keliling Indonesia selama sebulan penuh. Zamzani yang juga turut dalam tur kapal pembela lingkungan milik Greenpeace ini berbagi cerita ke Beritalingkungan.com mengenai kawasan surga laut di Papua Barat itu, berikut ulasannya.
Semburat
merah di ufuk timur tampak di kaki langit Kota Sorong menyambut Kapal
legendaris Greenpeace Rainbow Warrior saat melewati selat Dampir, Senin,
20 Mei 2013 lalu. Raja Ampat adalah tujuan Rainbow Warrior kali ini,
sebuah gugusan pulau nan indah di hamparan surga kehidupan bawah laut
milik Indonesia warisan dunia.
Raja Ampat adalah warisan alam nusantara yang kaya keanekaragaman hayati laut. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki banyak
surga bawah laut, namun Raja Ampat adalah yang paling besar. Pemerintah
Indonesia menargetkan 34 juta hektar wilayah laut untuk dijadikan
konservasi pada tahun 2020 (United Nations Conference on Sustainable
Development in Brazil), dan 30 persen di antaranya telah disumbangkan
oleh Raja Ampat, Papua Barat, Indonesia. Selain itu Raja Ampat
merupakan kepulauan dengan kekayaan hayati dan ekosistem laut yang
terlengkap di dunia dengan 537 spesies terumbu karang atau 75 persen
dari total spesies terumbu karang dunia.
Rainbow
Warrior berlayar di perairan Indonesia sejak 9 Mei 2013 lalu dan
memulai perjalanannya di Jayapura dalam rangka kampanye tur kapal “100%
Indonesia: Bersama kita Menyelamatkan Hutan dan Laut,” yang berakhir
pada 9 Juni mendatang di Jakarta. Tur ini bertujuan untuk merayakan
kekayaan hayati nusantara baik laut maupun hutan dan mendorong semua
pihak memastikan perlindungannya. Bukan saja untuk keseimbangan alam
dunia tapi juga untuk masyarakat Indonesia sendiri.
Berada
di bumi Papua sangat menyenangkan terutama bagi saya yang lahir dan
besar di Sumatera. Kondisi alam di kampung halaman saya telah sangat
memprihatinkan dan saya menjadi saksi kehancurannya. Tahun 2012 lalu,
saya berkesempatan memasuki hutan-hutan Kalimantan yang kondisinya tidak
jauh berbeda, rusak oleh pertambangan, perkebunan sawit dan akasia
skala besar. Jika masih terdapat hutan, itu pun tidak terlalu banyak dan
jaraknya sangat jauh. Namun di Papua, saya melihat hamparan hutan yang
masih alami yang sangat luas. Belum lagi keindahan pantai dan perairan
dangkalnya yang sangat jernih dan penuh dengan kehidupan.
Sebelum
tiba di Raja Ampat, Minggu, 19 Mei, Rainbow Warrior berhenti beberapa
mil dari pantai utara Papua, Jamursba Medi, Kabupaten Tambraw. Pantai
yang berhadapan langsung ke samudra pasifik ini sangat terlindungi
karena dibatasi oleh bukit-bukit yang masih alami. Namun pemerintah
Papua Barat sedang berencana untuk membangun jalan trans Papua dari Sorong menuju Manokwari yang akan melintasi perbukitan tepat di pantai peneluran Penyu Belimbing.
![]() |
Inilah kekayaan hayati bawa laut Raja Ampat. Foto-2 :Paul Hilton/Greenpeace. |
Jamursba Medi adalah tempat penting bagi satwa dilindungi penyu belimbing atau Leatherback Sea Turtle (Dermochelys coriacea). Garis pantai pasir putih sepanjang 18 kilometer adalah tempat peneluran terbesar di Pasifik bagi spesies penyu ini.
Organisasi
pemeringkat status konservasi hewan dunia IUCN menyatakan bahwa penyu
belimbing kini terancam punah oleh pemanasan global, perubahan iklim dan
kerusakan habitat. Walau saya dan tim Greenpeace harus berjalan kaki
sekitar 20 kilometer, tim yang dibantu masyarakat lokal ini berhasil
mendokumentasikan pusat peneluran penyu belimbing. Hari yang panjang
memang, namun semuanya terbayar karena untuk pertama kali saya dan
sejumlah tim menyaksikan bagaimana hewan yang hampir punah ini berjuang
untuk bertelur demi keberlangsungan generasi mereka.
Di
hari berikutnya kapal terus berlayar menuju Raja Ampat untuk
mendokumentasikan keanekaragaman hayati bawah laut. Kapten kapal Rainbow
Warrior, Pep Barball berkebangsaan Spanyol akhirnya memutuskan melego
jangkar di dekat Pulau Kri, di Gugusan Pulau Mansuar setelah dipandu
masyarakat lokal agar jangkar kapal tidak merusak terumbu karang di
sekitarnya.
Raja
Ampat ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut daerah berdasarkan
peraturan daerah Kabupaten Raja Ampat yang terdiri dari tujuh kawasan
seluas 900.000 ha. Tim dokumentasi yang terdiri dari Mark Dia,
Jurukampanye Laut Greenpeace, Paul Hilton, juru foto dan Barly Febriadi
juru video langsung menyelam di perairan dangkal dekat pulau Kri dan
berhasil merekam kehidupan bawah laut yang indah meski jarak pandangnya
tidak terlalu bagus.

Di
hari kedua, ketika tim dokumentasi selesai melakukan penyelaman
terakhir, saya dan juru video Greenpeace Barly Febriadi berangkat menuju
Kampung Yenbuba di Distrik Mansuar yang berjarak hanya satu km dari
Rainbow Warrior. Masyarakat nelayan Yenbuba memiliki kearifan lokal
untuk menjaga laut di sekitarnya agar tetap lestari.
Pada bulan April
lalu mereka baru saja mendeklarasikan komitmen pelestarian laut di
sepanjang areal Tanjung Sapor Samyam seluas 2.500 hektar. Deklarasi ini
juga diikuti sejumlah kampung di antaranya Yenwaupnor dan Yenbekwan yang
berarti di wilayah deklarasi, masyarakat tidak akan mengambil ikan
karena kawasan terrsebut akan dijadikan sebagai kawasan wisata laut.
“Dulu
kami akui sering mengambil ikan dengan cara merusak seperti menggunakan
potassium dan bom. Tetapi kini menyadari pentingnya melestarikan laut.
Sekarang kami menangkap ikan di luar kawasan deklarasi itu,” ujar Ayub
Sawiyai, Kepala Kampung Yenbuba.
Pantai
dan laut yang begitu indah di pulau-pulau sekitar Mansuar kini
disiapkan menjadi tujuan wisata yang juga didukung pemerintah setempat.
Dari keindahan pantai dan laut dan komitmen pelestarian itulah
masyarakat Yenbuba dan sekitarnya kini mendapat sumber ekonomi
alternatif melalui kegiatan pariwisata. Kearifan lokal masyarakat
Yenbuba ini sebenarnya bukanlah satu-satunya cara masyarakat Raja Ampat
menjaga lingkungannya.
Selain
deklarasi April lalu itu, juga ada budaya Sasi dan Kakes. Sasi adalah
ritual adat yang dilakukan oleh komunitas untuk menerapkan moratorium
atau jeda atas eksploitasi atas jenis tertentu yang ditetapkan dalam
waktu tertentu. Dalam hal ini jika Sasi dilakukan di laut, maka pada
waktu tertentu tidak boleh ada aktifitas pengambilan ikan di daerah
tersebut. Tujuan Sasi bermacam-macam tergantung pada apa yang ditetapkan
masyarakat setempat. Namun masyarakat Yenbuba belum pernah menerapkan
Sasi untuk wilayah lautnya.
“Sampai
pada Sasi itu dibuka lagi, barulah kegiatan pemanenan atau penangkapan
diperbolehkan kembali. Setelah sasi dibuka kembali biasanya jumlah ikan
akan lebih banyak karena tidak diambil dalam beberapa waktu. Namun di
sini belum pernah ada Sasi tapi hanya deklarasi,” kata Ayub lebih
lanjut.
Kearifan
lokal inilah yang seharusnya diadopsi pemerintah dalam menjaga
lingkungan. Indonesia sendiri punya aturan hukum untuk menjaga kekayaan
alamnya, namun biasanya keterbatasan sumberdaya manusia dijadikan alasan
lemahnya penegakkan hukum. Greenpeace Indonesia tahun ini meluncurkan
kampanye laut di samping kampanye yang sudah ada yakni hutan, iklim dan
energi serta air bebas beracun.
Di
tahun pertama kampanye laut di nusantara, Greenpeace mendorong
pemerintah untuk melindungi ekosistem laut dari aktivitas yang merusak
dan mengakhiri penangkapan ikan berlebihan (overfishing) dan menangani
illegal fishing. Jika saja kearifan lokal dipahami pemerintah sebagai
modal perlindungan ekosistem laut, maka tidaklah banyak sumberdaya
manusia dan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengawasi laut nusantara.
Dan anugerah kekayaan alam Indonesia yang luar biasa ini dapat terjaga
untuk warisan generasi penerus di masa depan. (Zamzani)