![]() |
Stan produk dari mitra Sokola asal Flores, NTT yang menjual buku dan hasil kerajinan tangan lainnya. Foto : Satuharapan.com. |
JAKARTA, BL- Global Environment Facility-Small Grant Program
(GEF-SGP) dibawah koordinasi UNDP tengah mendorong Kewirausahaan hijau, yang
diharapkan bisa menghidupkan ekonomi rakyat, sekaligus menjamin keberlangsungan
kelestarian lingkungan hidup dengan nyata.
GEF-SGP baru saja menggelar Pertemuan Kewirausahaan Komunitas
Menuju Gerakan Indonesia pada tanggal
10-12 September kemarin di Hotel Atlet Century Park, Senayan, Jakarta. Acara ini diikuti 20 komunitas
dari berbagai daerah Indonesia.
Kewirausahaan komunitas adalah sebuah usaha kelompok
masyarakat yang melihat adanya potensi ekonomi yang muncul belakangan setelah
mereka melakukan gerakan dalam menjawab permasalahan lingkungan atau pun sosial
di sekitar mereka. Keuntungan ekonomi yang mereka dapatkan tidak pernah untuk
keperluan kapital besar (industri/perusahaan), melainkan dikembalikan kepada
kebutuhan ekonomi harian komunitas yang sederhana, dan diperuntukkan untuk
memperluas perbaikan lingkungannya kembali.
Salah satu contoh konkretnya telah ditunjukkan Kelompok
Perempuan Muara Tanjung, Serdang Bedagai, Sumatera Utara (Sumut), yang
digerakkan oleh para istri nelayan di Desa Sei Nagalawan, yang dimotori ibu
rumah tangga bernama Jumiati. Delapan tahun lalu mereka berjuang dalam
menumbuhkan kembali hutan mangrove di pesisir pantai desa mereka. Pikiran
mereka hanya sederhana, agar desa mereka bisa selamat dari hantaman ombak, dan
banjir rob. Lebih dari itu ingin memastikan keselamatan dan kenyaman hidup bagi
anak-anak mereka.
Dalam proses menanam mangrove, mereka sempat dicela dan
dicibir oleh sebagian tetangga mereka sendiri. Sejumlah mangrove bahkan sempat
dirusak. Namun mereka teguh. Kini mangrove yang mereka tanam seluas 12 ha
tumbuh subur menjadi hutan mangrove yang menghidupkan kembali kehidupan
sekitar. Ikan-ikan, kepiting mangrove yang semulai tidak ada, kini bermunculan.
Hutan mangrove mereka kini juga disukai berbagai jenis burung migran dunia
sebagai tempat singgah. Lebih dari itu hutan mangrove yang mereka lahirkan itu
kini menjadi tempat wisata menarik bagi mahasiswa dan masyarakt luar yang ingin
menikmati kehidupan alam asli.
Usaha ekowisata hutan mangrove ini kemudian disebutkan sebagai Wisata Kampung Nipah. Dari mangrove yang mereka tanam ini pula menghasilkan kerupuk, dodol, sirup, teh dan tepung kue. Para istri nelayan ini pun tidak pernah lagi tergantung dengan rentenir ketika suami mereka tidak melaut, karena angit barat. Mereka bahkan bisa membeli perahu sendiri untuk suami dan membebebaskan diri dari ketergantungan toke ikan. Keuntungan yang mereka hasilkan diperuntukkan untuk membeli bibit mangrove, cemara, membuka usaha lain yang akhirnya menyerap tenaga kerja dari desa mereka sendiri.
Usaha ekowisata hutan mangrove ini kemudian disebutkan sebagai Wisata Kampung Nipah. Dari mangrove yang mereka tanam ini pula menghasilkan kerupuk, dodol, sirup, teh dan tepung kue. Para istri nelayan ini pun tidak pernah lagi tergantung dengan rentenir ketika suami mereka tidak melaut, karena angit barat. Mereka bahkan bisa membeli perahu sendiri untuk suami dan membebebaskan diri dari ketergantungan toke ikan. Keuntungan yang mereka hasilkan diperuntukkan untuk membeli bibit mangrove, cemara, membuka usaha lain yang akhirnya menyerap tenaga kerja dari desa mereka sendiri.
Contoh lainya adalah cerita sekelompok perempuan dari Yogya
yang peduli terhadap kelestarian tenun dari berbagai daerah di Indonesia.
Mereka pun mendirikan perusahaan sosial yang diberinama dengan Lawe. Tujuannya
sederhana, hanya ingin memastikan tenun yang ada di pelosok Indonesia tidak
punah, dan para pembuatnya tetap semangat dalam menghasilkan tenun khas mereka
tersebut, serta mau menurunkan pengetahuan membuat tenunnya kembali kepada kaum
mudanya.
Dari sini Lawe pun memberikan berbagai pelatihan dalam meningkatkan
kapasitas penenun yang sebagian besar adalah perempuan, sehingga bisa
menghasilkan tenun yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Lawe tidak hanya
memperkenalkan tenun khas Indonesia kembali dengan berbagai karya fashion yang
dihasilkan, tapi hasil keuntungannya juga dikembalikan kepada pembuat tenunnya.
Masih banyak cerita dari komunitas lainnya dalam kegiatan ini, sehingga bisa
memberikan pembelajaran antara satu dengan lainnya.
“Ini bukanlah UKM. Ini soal kerja-kerja komunitas, apa yang
dilakukan adalah dari komunitas, oleh komunitas, untuk komunitas, Jika mereka
dapat keuntungan maka itu akan kembali ke komunitas dan perbaikan lingkungan.
Karena awalnya adalah mereka bergerak untuk perbaikan lingkungan serta sosial
dan bukan mencari keuntungan karena itu. Potensi ekonomi baru mereka lihat
belakangan, dan itu pun guna memelihara keberlanjutan yang telah mereka perjuangkan,”
kata Catharin Dwihastarini, Koordinator Nasional GEF-SGP Indonesia.
Dia berharap kewirausahaan komunitas yang diawali dengan
pergerakan perjuangan untuk memperbaiki lingkungan dan sosial tidak lagi
dianggap sebagai perlawanan, tetapi sebagai menjawab solusi atas tantangan
persoalan yang dihadapi suatu wilayah tersebut. Jadi seharusnya, terutama
pemerintah, justru bisa memberikan dukungan penuh terhadap gerakan tersebut.
Karena ternyata terbukti, justru telah membawa kesejahteraan masyarakat dan
juga keberlanjutan lestarinya lingkungan dan perdamaian. (Marwan Azis).