![]() |
Ilustrasi kekeringan. Foto : Tempo/Amston Probel |
Hal tersebut disampaikan Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG DIY, Tony Agus Wijaya, "Dampak El Nino ini kami perkirakan terjadi sekitar bulan Agustus hingga November mendatang," kata Tony di ruang kerjanya seperti dikutip dari Kabarkota.com akhir pekan kemarin.
Meski begitu, Tony memprediksi, dampak El Nino ini relatif rendah sehingga berbeda dengan dampak El Nino pada 1997 lalu.
El Nino ini terbentuk karena meningkatnya suhu laut di Samudera Pasifik
yang berimbas pada gangguan cuaca di berbagai negara, termasuk
Indonesia. "El Nino berpotensi mengurangi jumlah curah hujan hingga 15 persen," jelas Tony.
Untuk itu BMKG DIY mengimbau, agar wilayah-wilayah yang rawan
kekeringan, seperti Gunungkidul, dan Prambanan dapat melakukan langkah
antisipatif. Di antaranya, dengan membuat tampungan air tadah hujan, dan
dropping air dengan tanki-tanki oleh BPBD di wilayah masing-masing.
Terkait masih turunnya hujan di musim kemarau, sambung dia, itu karena
pengaruh gangguan cuaca pendek. Gangguan ini dipicu adanya daerah
tekanan rendah di Indonesia serta belokan arah angin di pulau Jawa.
Kondisi ini diperkirakan terjadi maksimal 7 hari, setelah itu musim akan
kembali normal. Namun, gangguan cuaca jangka pendek ini masih
berpotensi hingga bulan-bulan berikutnya. Bahkan, di puncak musin
kemarau, pada Agustus mendatang.
"Gangguan cuaca jangka pendek itu sulit diprediksi jauh hari," ungkap Tony. (Jid/Tri/BK)