![]() |
Penolakan masyarakat atas rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara Batang. Foto : Greenpeace. |
JAKARTA, BL- Puluhan orang perwakilan warga Batang yang tergabung dalam
Paguyuban UKPWR (Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, dan Roban)
kembali berangkat ke Jakarta untuk menyuarakan penolakan mereka terhadap
rencana pembangunan PLTU berbahan bakar batubara di desa mereka, di Kabupaten
Batang, Jawa Tengah.
Kali ini warga Batang menemui anggota DPR dan meminta dukungan
untuk menolak rencana pembangunan PLTU Batubara Batang. Pembangunan PLTU bukan
hanya akan mengancam pencapaian visi kedaulatan pangan dan membuat penurunan
emisi gas rumah kaca dari negeri ini sulit tercapai, namun juga akan
menghancurkan mata pencaharian warga sekitar yang hampir 90% berprofesi sebagai
petani dan nelayan.
Kedatangan warga ke DPR juga untuk mengadukan berbagai
permasalahan yang mereka hadapi, terkait semakin gencarnya upaya perusahaan dan
PT. PLN yang memaksakan proses pembebasan lahan terhadap warga yang menolak
menjual lahan mereka. Dua pekan terakhir alat-alat berat yang dikendalikan oleh
oknum berseragam Tentara Nasional Indonesia (TNI) melakukan penimbunan terhadap
lahan dimana rencananya akan dibangun PLTU. Pengurugan secara paksa juga
dilakukan terhadap lahan pertanian milik para pemilik lahan yang menolak
menjual lahan mereka pada perusahaan dan PT. PLN. Penimbunan secara paksa ini
menyebabkan kerusakan terhadap irigasi sawah milik warga, bahkan sebagian
pemilik lahan ditutup akses masuk ke lahannya sendiri oleh oknum polisi dan
militer yang melakukan penjagaan.
“Lahan pertanian sumber mata pencaharian saya satu-satunya,
diurug secara paksa oleh alat berat yang dikendalikan tentara, pengurugan ini
membuat irigasi untuk lahan saya rusak parah, dan sudah dapat dipastikan saya
akan rugi besar, karena benih padi yang telah
saya tanam akan mati karena kekeringan. Saya bahkan dilarang masuk ke lahan
saya sendiri oleh aparat yang menjaga lahan yang sedang diurug”, kata Cayadi, pemilik lahan dari Desa Karanggeneng melalui siaran persnya yang diterima Beritalingkungan.com (22/4). “Jika dipaksakan dibangun,
bukannya akan menyejahterakan warga, proyek ini justru akan memiskinkan warga”,
tambah Cayadi.
PLTU Batubara Batang yang diklaim akan menjadi PLTU Terbesar di
Asia Tenggara ini membutuhkan lahan seluas 226 hektar, hampir seluruh lahan
yang diincar untuk pembangunan ini merupakan lahan pertanian subur dengan
irigasi teknis yang dapat dipanen 3 kali setahun. Setiap kali panen minimal
warga mendapatkan hasil 8 ton gabah dari setiap hektar lahan yang mereka garap.
Dalam kunjungan ke DPR warga bertemu dengan Ketua Komisi IV Edhy
Prabowo dan anggota Komisi VII Ramson Siagian. “Jika lahan pertanian subur
warga dirusak dan dihancurkan secara sengaja, maka ini adalah bentuk penindasan
negara terhadap rakyat”, kata Edhy Prabowo, Ketua Komisi IV DPR RI. “Kami akan
terus mengawal perjuangan warga Batang, hal seperti ini tidak dapat diterima“,
tegasnya.
PLTU Batubara Batang merupakan bagian dari Proyek MP3EI yang
dimulai sejak era pemerintahan Presiden SBY. Megaproyek ini telah tertunda
selama hampir 4 tahun, karena penolakan warga untuk melepas lahannya karena
jika PLTU Batang beroperasi, maka PLTU ini akan menghancurkan mata pencaharian
dan menganggu kesehatan mereka seperti dampak yang sudah terjadi terhadap warga
yang tinggal di sekitar PLTU Batubara lain yang sudah beroperasi seperti di
Cilacap, Cirebon dan Jepara.
“Presiden Jokowi seharusnya membatalkan rencana pembangunan PLTU
Batubara Batang, jika dipaksakan dibangun proyek ini bukan hanya akan mengancam
target Jokowi untuk mencapai kedaulatan pangan tetapi juga membuat komitmen
pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca penyebab perubahan
iklim dari Indonesia mustahil terpenuhi” Kata Arif Fiyanto, Kepala Kampanye
Iklim dan Energi, Greenpeace Indonesia.
“Presiden Jokowi seharusnya
memimpin revolusi energi di Indonesia dengan mendukung pengembangan energi
terbarukan di Indonesia secara maksimal, dan segera mengambil keputusan untuk
menghentikan ketergantungan Indonesia terhadap batubara, bahan bakar fosil
paling kotor di dunia”, tegas Arif.
-->
Tidak ada komentar:
Posting Komentar