Danau Sentani. Foto : Papukita.com |
JAYAPURA, BL- Aktivitas penambangan dan pendulang emas
di kawasan Bumi Perkemahan Waena,
Jayapura, Papua berpotensi mencemari
Kali Jembatan Dua, yang bermuara ke Danau Sentani, yang berada di Distrik Sentani Timur,
Kabupaten Jayapura, Papua.
Pasalnya, sisa lumpur yang mengandung air raksa, yang
digunakan para
pendulang untuk mendapatkan emas, cukup banyak yang mengalir ke Kali Jembatan Dua hingga ke Danau
Sentani, yang merupakan danau terbesar kedua di Indonesia setelah Danau Toba di Sumatera
Utara.
Beberapa waktu lalu, dari hasil penelusuran yang dilakukan jurnalis Papuakita.com (Jaringan Sindikasi Beritalingkungan.com) ditemukan sejumlah orang sebagai
penambang emas yang
diduga ilegal sedang beraktifitas. Penelusuran sampai ke
atas gunung, terlihat di satu lokasi
ditemukan warga pendulang emas
sedang
bekerja.
Mereka membangun pondok-pondok untuk berteduh, dan seminggu sekali
mereka akan pulang ke rumah masing-masing. Untuk tiba di lokasi penambangan,
dibutuhkan waktu sekitar setengah jam dengan berjalan kaki ke atas gunung.
Robert dan beberapa kawannya mengaku hanya menerima upah dengan sistem
pembagian keuntungan
sebesar 50 persen dari kerja kerasnya menggali bongkahan
batu dan dihancurkan untuk mencari emas. “Potensi emas di kawasan Gunung Buper
sangat bagus. Pekerjaan ini sudah ditekuni sejak 2007 lalu,” katanya.
Meski tujuan para penambang itu untuk memperbaiki kesejahteraan
keluarga, namun tanpa disadari aktivitas mereka sudah merusak habitat Kali
Jembatan Dua, Kabupaten Jayapura yang bermuara ke Danau Sentani.
Air Kali Jembatan Dua yang dulunya bening kini berubah keruh akibat
dampak dari penambangan emas yang dilakukan para warga itu. Kali Jembatan Dua
dulu kerap dijadikan tempat pemandian, mencuci bahkan dikonsumsi oleh warga
sekitar, kini tak seindah dulu.
Dalam satu dekade ini, air kali berubah drastis seperti air comberan. Tak
hanya itu, kali itu juga mengalami pendangkalan sekitar 30 meter. Salah satu
pemerhati lingkungan, Yehuda Hamokwarong, mengatakan, penambang di kawasan
Buper Waena tidak bisa disebut sebagai penambang liar, namun lebih kepada
penambang tradisional karena lahan itu bukan milik pemerintah.
Penambangan emas ini, kata Yehuda, bukan saja terjadi di kawasan Buper
Waena, namun ada beberapa lokasi lainnya yang dijadikan warga untuk mendulang
emas seperti di Kloofkamp, Gajah Putih dan Polimak yang ada di Kota Jayapura.
"Tapi yang masih aktif ini di Polimak dan di Buper. Kalau Polimak
sudah dari tahun 1998, saat mulai krisis ekonomi jadi warga banyak yang
mendulang emas. Sedangkan untuk wilayah Buper sudah mulai ada dari tahun
1996," kata Yehuda yang juga salah satu dosen di Fakultas Kejuruan dan Ilmu
Pendidikan (FKIP) Universitas Cendrawasih Jayapura ini.
Yehuda membenarkan, ada dampak signifikan dari aktivitas penambangan
ini, dimana mercury yang digunakan sebagai bahan untuk mengukur kadar emas
dapat mempengaruhi warna air bagi biota yang ada di Kali Jembatan Dua dan Danau
Sentani.
"Dengan kondisi begini secara langsung ekosistem khususnya
ikan-ikan yang hidup di Danau Sentani pun punah seperti ikan gabus, nila,
pelangi, mujair dan jenis hewan amphibi yang lainnya," kata Yehuda.
Sementara bagi kesehatan manusia yang mengonsumsi ikan terkontaminasi
mercury itu, kata Yehuda, yang paling nyata adalah ke pembuluh darah yang bisa
menyebabkan penyakit kanker, stroke dan alzheimer (pikun).
"Jadi air ini bukan saja bermuara ke danau tapi juga ke tambak-tambak
yang dialiri oleh air dari kali ini. Dan ikan-ikan yang hidup di air ini sudah
pasti airnya terkandung mercury," terangnya.
Menurut Yehuda, pemerintah setempat sepertinya tahu akan aktivitas
penambangan yang dilakukan warga itu. Namun sepertinya pemerintah tak mau ambil
pusing, apalagi kalau sudah berhadapan dengan masalah hak ulayat.
“Padahal, pemerintah harus melakukan penindakan dan membuat upaya
pencegahan agar aktivitas seperti ini tak berlanjut.
Ada dua yang harusnya
dilakukan pemerintah. Pertama adalah pencegahan dan kedua melakukan edukasi
terhadap warga terkait dampak-dampak negatif dari aktivitas penambangan
ini," jelasnya.
Menurut Yehuda, memang apabila pemerintah menghentikan aktivitas
penambangan ini, maka solusinya adalah pemerintah membuka lapangan pekerjaaan
bagi warga yang selama ini sudah menekuni pekerjaan sebagai penambang ilegal.
"Ya itu tugas pemerintah, ketika ini dihentikan harus ada satu
lapangan kerja yang baru untuk mereka. Dan menurut saya pekerjaan yang bagus
untuk mereka jika melihat potensi air ini sebagai objek wisata sangat
tinggi, kan kali ini bisa ditata dengan baik sehingga menghasilkan
pendapatan," jabarnya.
Selanjutnya
untuk normalisasi kali jembatan dua ini, kata Yehuda, bukan dengan waktu yang
singkat, tetapi membutuhkan waktu hingga 30 tahun.
"Karena tidak gampang
membuat air yang sudah terkontaminasi zat berbahaya itu untuk kembali normal
seperti semula," pungkasnya. *** (Dzaki Anugrah/Papukita.com)
-->
Tidak ada komentar:
Posting Komentar