![]() |
Ikan tuna. Foto : tempo.co |
JAKARTA, BL- Organisasi pembela lingkungan Greenpeace Indonesia
dan Greenpeace Filipina menilai sebagian besar dari 22 perusahaan
pengalengan tuna di kedua negara belum memenuhi tiga kriteria kunci
yaitu keterlacakan, keberlanjutan, dan kesetaraan.
Adapun perusahaan yang ditinjau meliputi sembilan pengalengan tuna di Filipina dan 13 pengalengan tuna di Indonesia.
Juru
Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Arifsyah Nasution mengatakan,
keterlacakan berarti perusahaan dan konsumen mampu menelusuri dari mana
asal ikan tuna yang digunakan yang dimulai dari awal rantai pasokan.
Kunci dari keterlacakan adalah mengetahui di mana dan bagaimana tuna
ditangkap. Selanjutnya dalam kriteria keberlanjutan perusahaan harus
berkomitmen melalui kebijakan penggunaan sumber tuna yang bebas dari
praktik perikanan ilegal, merusak, dan tidak bertanggung jawab.
Kriteria
kunci terakhir adalah kesetaraan. Kriteria ini mendesak perusahaan
untuk mengetahui siapa yang menangkap tuna dan bagaimana mereka
diperlakukan. Perusahaan harus berkomitmen memastikan kesejahteraan pada
pekerja di seluruh rantai pasokan, dan bekerja aktif menghentikan
perbudakan di lautan.
“Saat
menelusuri praktik bisnis di perusahaan pengalengan tuna di kedua
negara kami menemukan banyak dari merek-merek tuna besar ternyata tidak
memiliki kendali dalam rantai pasokannya sendiri. Hingga akhirnya mereka
tidak dapat menelusuri dengan akurat distribusi tuna dari kapal
penangkap ikan ke pengalengan, hingga ke konsumen. Maka tak heran jika
perusahaan sulit memenuhi kriteria keterlacakan, keberlanjutan, dan
kesetaraan,” ujar Arifsyah melalui keterangan tertulisanya diterima Beritalingkungan.com kemarin.
Menurutnya
konsumen terbiasa menggantungkan pilihan berbelanja berdasar pada merek
dan reputasi perusahaan, namun studi ini menunjukan merek-merek
tepercaya ternyata tidak menjamin praktik perikanan yang legal dan
berkelanjutan. Apalagi hampir tidak ada perusahaan yang memberikan
informasi mengenai jenis tuna yang dikalengkan serta bagaimana cara
penangkapannya.
Dia
melanjutkan tidak terpenuhinya ketiga kriteria tersebut menjadikan
konsumsi tuna sebagai proses yang tidak transparan dan sering dipenuhi
dengan praktik penangkapan ikan dan ketenagakerjaan yang tidak
bertanggung jawab, dan terkadang ilegal. Konsumen yang ingin beralih ke
konsumsi tuna yang bertanggung jawab dan berkelanjutan pun mengalami
kesulitan karena tidak ada informasi yang memadai mengenai hal tersebut.
Selain
itu, tambah Arifsyah, dari tiga perusahaan pegalengan tuna yang
bersedia disurvei, Greenpeace Indonesia dan Greenpeace Filipina hanya
menemukan satu yang menggunakan cara penangkapan ikan berkelanjutan dan
memiliki kebijakan yang lebih transparan. Meski belum memenuhi seluruh
kriteria dengan sempurna, namun perusahaan tersebut dinilai dapat
memimpin pergeseran praktik penangkapan ikan yang berkelanjutan dengan
menggunakan metode huhate (pole and line).
Sayangnya,
Greenpeace tidak membeberkan identitas 21 perusahaan itu, dimana 13 perusahaan
diantaranya merupakan pengalengan tuna asal Indonesia yang belum
memenuhi tiga kriteria kunci industri pengolahan ikan itu.(Marwan Azis)
-->
Tidak ada komentar:
Posting Komentar