![]() |
SVLK untuk perbaiki tata kelola hutan Indonesia. Foto : kotahujan.com |
JAKARTA, BL– Upaya mendorong penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) setara dengan Lisensi Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) dari Uni Eropa (UE) melalui Voluntary Partnership Agreement (VPA) yang telah dilakukan bertahun-tahun, terancam kandas.
Peraturan Menteri Perdagangan
(Permendag) RI No. 66/M-DAG/PER/8/2015 yang mengubah beberapa ketentuan
dalam Permendag RI No. 97/M-DAG/PER/12/2014 tentang Ketentuan Ekspor
Produk Industri Kehutanan kini memungkinkan dengan Deklarasi Ekspor (DE)
untuk melakukan ekspor. DE adalah surat pernyataan dari IKM (Industri
Kecil dan Menengah) Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan
(ETPIK) bahwa barang yang diekspor menggunakan sumber bahan baku yang
telah memenuhi persyaratan legalitas.
Keputusan ini mungkin menjanjikan bagi
sebagian eksportir produk kayu, namun juga mengancam kesempatan
Indonesia sebagai negara pertama yang menyediakan produk kayu berlisensi
FLEGT di pasar Eropa. DE merupakan celah yang menyebabkan UE
mengisyaratkan mundur untuk memberi pengakuan terhadap sistem legalitas
kayu Indonesia sebagai syarat untuk mendapatkan kemudahan khusus di
pasar negara anggotanya.
Dalam ketentuan VPA, Indonesia hanya
akan mengekspor ke negara-negara Uni Eropa produk-produk kayu legal yang
telah terverifikasi dan berlisensi FLEGT, dimana SVLK telah disepakati
akan menjadi lisensi FLEGT.
Lisensi FLEGT menjamin bahwa kayu dari
negara-negara VPA dipanen, diproses dan diekspor dengan menaati semua
peraturan perundangan nasional yang berlaku. Enam negara yang saat ini
telah menandatangani VPA, Indonesia merupakan satu-satunya negara dari
Asia, dengan Uni Eropa. Keenam negara tersebut saat ini sedang
mengembangkan sistem yang diperlukan untuk mengontrol, memverifikasi dan
memberikan lisensi bagi kayu legal.
Menurut Aditya Bayunanda, Forest
Commodities Market Transformation Leader WWF Indonesia, dengan hanya
diperlukannya DE, menjadi celah yang memungkinkan produk kayu yang belum
terverifikasi legalitasnya dapat diekspor. Terlepas dari semangat
pemberlakuan DE untuk mendukung industri kecil, tapi tak seharusnya
mengorbankan SVLK. SVLK saat ini merupakan alat paling inovatif yang
telah dikembangkan di Indonesia untuk memerangi penebangan liar.
“Sejatinya dapat dicari solusi dengan
menyertakan eksportir skala kecil ke dalam sistem SVLK sehingga manfaat
lisensi FLEGT juga bisa dirasakan oleh mereka,” ujar Aditya Bayunanda.
Seraya menambahkan, penggunaan SVLK
dari tahun ke tahun menunjukkan tren peningkatan, pada tahun 2013
sebesar 6 milliar dollar AS dan pada tahun 2015 hingga bulan Agustus
saja telah mencapai nilai 7,1 milliar dollar AS. Bila dibandingkan
dengan nilai ekspor yang hanya menggunakan DE sebesar 140 juta dollar AS
maka tidak masuk akal apabila DE dipertahankan dan mengakibatkan
kegagalan Indonesia diakui dalam lisensi FLEGT. (Marwan Azis)
-->
Tidak ada komentar:
Posting Komentar