POSO, BERITALINGKUNGAN.COM- Perjalanan tim Ekspedisi Poso tahap
kedua baru saja selesai. Kali ini menyusuri wilayah Sesar Poso yang memanjang
dari kota Poso ke beberapa desa sepanjang sungai Poso hingga ke sisi timur
Danau Poso sejak tanggal 24 Juni hingga 1 Juli 2019.
Ada beberapa temuan
penting yang dihasilkan dalam perjalanan diantaranya, rekahan sesar di sepanjang
perjalanan dari Desa Kuku dan Panjoka, bahkan jenis batuan yang menunjukkan
terangkatnya laut dalam ke permukaan hingga menjadi daratan.
Abang Mansyursyah, tim ahli ekspedisi
Poso dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia mengatakan peristiwa ini terjadi jutaan
tahun yang lalu, sekaligus menjadi bukti terangkatnya Pegunungan Pompangeo.
Ega, nama panggilan akrab tim ahli ini bersama tim ahli geologi lainnya juga
menemukan sebuah bukti terbentuknya Pulau Sulawesi di wilayah Kelurahan
Petirodongi.
“Tidak diragukan lagi, wilayah
Kabupaten Poso bisa menjadi laboratorium peristiwa sejarah geologi terbentuknya
Pulau Sulawesi” ujar Reza Permadi, tim
ahli ekspedisi Poso dari IAGI yang juga merupakan ketua Geosaintis Muda Indonesia.
Wilayah Sesar Poso yang kali ini
menjadi wilayah perjalanan tim Ekspedisi Poso mencatatkan beberapa peristiwa
gempa bumi dalam satu tahun terakhir. Salah satunya berkekuatan Magnitudo 3 di kedalaman 21 Km terjadi pada 5
April 2019 lalu yang bersumber di Teluk Poso, 29 kilometer arah timur laur
Poso. Selanjutnya pada 22 Mei 2019 lalu kembali terjadi gempa dilokasi yang
sama dengan kekuatan lebih besar, magnitudo 3,6.
Cerita tentang terangkatnya daratan ini
ditemukan juga oleh tim laulita melalui dongeng. Tim laulita menemukan cerita tentang
Sinolidi di Dulumai yang memuat tentang peristiwa geologi , wujudnya saat ini
dalam bentuk batu yang dikenal dengan Watuyano. Selain itu terdapat cerita ayam
ajaib di Desa Peura yang menceritakan terangkatnya daratan setelah seorang
laki-laki mengikuti seekor ayam yang ternyata adalah seorang putri dari
khayangan.
“Cerita dan pengetahuan masyarakat
tentang wilayahnya menjadi bagian penting dalam mengarahkan wilayah-wilayah
penelitian para tim ahli” kata Lian.
Bonesompe di Kecamatan Poso Kota Utara misalnya,
menurut Lian, menjadi wilayah yang ditelusuri tim geologi setelah mendapatkan
cerita dari budayawan yang menyebutkan
nama kelurahan ini dalam bahasa Poso berarti pasir yang tersangkut atau
tumpukan pasir. Rencananya para geolog akan melihat struktur tanah disini dan
memperkirakan berapa usia hamparan pasir disana.
Demikian pula satu wilayah di Kelurahan
Kawua yang di sebut warga sebagai tanah Kaumbu-umbu, atau tanah yang
bergoyang-goyang. Wilayah lainnya adalah Tana Runtuh, sebuah lokasi di
kelurahan Gebang Rejo kecamatan Poso Kota. Di ruas jalan pulau Irian Jaya, ada
sebuah titik dimana setiap tahun terjadi penurunan tanah yang menyebabkan jalan
disini turun cukup dalam. Selain kedua wilayah ini tim ekspedisi juga akan
mempelajari beberapa tempat lain seperti kelurahan Lombugia, Tegal Rejo dan
Madale, Watuawu, Ratoumbu, Pandiri, Tagolu, Panjoka Uelincu, Saojo, Tendea,
Petirodongi, Tentena, Pamona, Sangele, Sawidago, Peura dan Dulumai.
Selain temuan penting peristiwa geologi
itu, tim arkeologi juga menemukan sejumlah artefak di dalam gua yang menjadi
tempat pemakaman leluhur orang Pamona, misalnya di gua Latea, Kelurahan
Tentena, Buyu nKanta Desa Dulumai, gua Labu Desa Peura dan 3 gua di Sawidago
serta di Desa Panjoka.
Sementara tim biologi menemukan
beberapa spesies ikan bercorak garis-garis yang dimasukkan dari luar yang
mengancam keberadaan ikan-ikan endemik. Ikan ini oleh warga disebut ikan
loreng. Selain ancaman ikan dari luar, kondisi air di sebelah timur danau juga
masih tergolong bersih. Evans Labiro, anggota tim biologi di ekspedisi Poso
menjelaskan, kondisi air itu bisa dilihat dari masih ditemukannya jenis Anasa alias Didisa.
“Anasa atau Didisa ini menjadi ukuran
apakah sungai atau wilayah yang airnya masih bersih. Sayangnya sepanjang
perjalanan tim di wilayah Sesar Poso, kita hanya menemukannya di Desa Dulumai”
kata Evans.
Bukan hanya meneliti dan berusaha
menemukan rekahan permukaan sesar, tim ekspedisi poso dibagi menjadi 4, yang
pertama tim geologi yang mempelajari struktur batuan dan patahan atau sesar.
Tim Arkeologi akan menyusuri situs-situs tua untuk mempelajari peninggalan
budaya orang Poso yang ada di jalur ini. Lalu tim biologi mempelajari biota
laut dan sungai. Ketiga tim ini
melakukan riset di wilayah-wilayah yang disebutkan dalam cerita dan tradisi masyarakat
setempat yang akan dipelajari oleh tim antropologi.
Bila ekspedisi tahap satu mengelilingi
desa-desa di pinggir Danau Poso, dalam perjalanan tahap dua ini tim menyusuri
pinggiran laut lalu sungai hingga ke danau untuk melihat bagaimana tradisi
masyarakat pesisir pantai di Poso menghadapi potensi bencana baik di masa lalu
maupun saat ini.
Banyaknya disiplin ilmu yang turut
dalam ekspedisi poso menariknya tidak saling mendominasi. Sebab menurut Lian
ini merupakan kolaborasi baik diantara para akademisi maupun dengan budayawan
sebagai sumber utama data dan pengetahuan mengenai wilayah yang dipelajari.
Peneliti LIPI Hery Yogaswara yang juga
tim ahli Ekspedisi Poso berulangkali menegaskan bahwa tidak ada satu ilmu atau
ahli yang mendominasi proses penelitian selama ekspedisi ini. Semuanya berjalan
setara sesuai disiplin masing-masing. Sebab tujuan ekspedisi ini untuk
menguatkan pengetahuan masyarakat mengenai sejarah, kekayaan alam dan potensi
bencana diwilayahnya.
Ekspedisi Poso menjadi salah satu
perjalanan penting karena akan mempelajari secara langsung potensi bencana di
wilayah ini. Sejumlah ahli mengakui data-data sejarah bencana dan potensinya
yang ada di wilayah Poso masih belum terdokumentasi. Bahkan diakui pula oleh
BNPB bahwa belum ada pengukuran GPS terhadap beberapa sesar di Indonesia,
termasuk 3 sesar yang melintasi Poso, yakni sesar Tokararu, Sesar Poso dan
Sesar Poso Barat.
“Hasil perjalanan Ekspedisi Poso
dirancang untuk disampaikan pada masyarakat juga Pemda untuk bisa merancang dan
menyusun pembangunan yang peka pada kondisi alamnya” tegas Lian.
Sebagai langkah awal, tim ekspedisi
Poso melakukan seri diskusi bersama masyarakat setiap malamnya. Dalam diskusi
ini para tim ahli bukan hanya menjelaskan temuan sementara kondisi alam di
wilayah penelitian tapi juga melakukan tanya jawab tentang fenomena alam
seperti gempa, likuifaksi, tsunami dan longsor.
Perjalanan kedua tim ekspedisi Poso
kali ini mengikutsertakan tim ahli ketahanan bencana dari Institut Teknologi
Bandung, yang memberikan workshop singkat kepada tim mengenai pemetaan
ketahanan bencana pada masyarakat. Pemetaan ini diharapkan akan berguna bagi
Pemda untuk membangun mitigasi bencana di Kabupaten Poso.
Tim ekspedisi Poso terdiri dari para
geolog, arkeolog, palaentolog, biolog,
teolog, antropolog, budayawan serta peminat kajian ekologi, fotografer dan
pembuat film dokumenter. Tim ekspedisi Poso diinisiasi oleh warga Poso melalui
komunitas Aliansi Penjaga Danau Poso, sejak Desember 2018. Perjalanan ekspedisi
Poso dilakukan dalam dua tahapan. Tahapan pertama dilakukan di wilayah Sesar
Poso Barat pada tanggal 15 – 22 Mei 2019 dan tahapan kedua dilakukan di wilayah
Sesar Poso pada tanggal 24 Juni sampai 1 Juli 2019. (Marwan Azis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar