Menurut pemerintah, kebijakan ini adalah kebijakan utama dalam menurunkan deforestasi Indonesia, yang sudah menurun 20 persen setelah kebijakan moratorium diberlakukan, dan 38 persen jika perhitungan hanya dilakukan di wilayah PIPPIB.
Penghentian pemberian izin baru
adalah sebuah
langkah maju. Sayangnya, selama delapan tahun kebijakan ini
diberlakukan dari
tahun 2011 hingga dipermanenkan pada tahun 2019, belum terlihat
penguatan dalam
hal cakupan dan tingkat perlindungan terhadap seluruh hutan alam
dan lahan
gambut Indonesia yang tersisa.
“Dibutuhkan lebih dari sekadar baby
steps
atau langkah-langkah kecil untuk menyelamatkan Indonesia dari
bencana
lingkungan hidup dan kemunduran ekonomi akibat kerusakan sumber
daya alam dan
dampak buruk perubahan iklim. Yang kita butuhkan adalah lompatan
besar ke
depan, langkah drastis untuk menyelamatkan seluruh hutan alam
dan lahan gambut
yang tersisa,” ujar Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif
Yayasan Madani
Berkelanjutan.
Kenyataannya, Inpres 5/2019 masih
membatasi diri
pada hutan alam primer saja. Padahal, untuk mencapai komitmen
iklim Indonesia,
sangat penting untuk turut melindungi hutan alam sekunder yang
kaya karbon,
keanekaragaman hayati, dan menjadi tumpuan hidup masyarakat adat
dan lokal.
Berdasarkan data pemerintah, dari 43,3 juta hektare hutan alam
sekunder
Indonesia, yang saat ini dilindungi karena berada di Hutan
Lindung dan
Konservasi hanya 13,1 juta hektare. Sisanya, 30,2 juta hektare,
terancam
deforestasi akibat pemberian izin baru.
Dari jumlah ini, ada 9,2
juta hektare
hutan alam Indonesia yang paling terancam karena berada di Hutan
Produksi
Konversi atau HPK (3,8 juta hektare) dan Area Penggunaan Lain
(5,4 juta
hektare) yang sewaktu-waktu dapat diberi izin untuk konversi.
Fakta lainnya yang Madani temukan,
wilayah hutan
alam primer dan lahan gambut yang dilindungi dalam Peta
Indikatif Penghentian
Izin Baru atau PIPPIB tidak turut dipermanenkan dikarenakan
masih akan direvisi
setiap 6 bulan.
Wilayah yang dilindungi masih bisa berkurang
atau bertambah
meski kecenderungan yang ada selama ini adalah berkurang. Selama
periode
2011-2018, telah terjadi pengurangan seluas 3 juta hektare tanpa
penjelasan
secara utuh pada publik.
Pengurangan besar-besaran ini masih
bisa terjadi ke
depan. Analisis awal Madani memperlihatkan terdapat area
perkebunan sawit yang
tumpang tindih dengan PIPPIB Revisi XV di 23 Provinsi, yakni
Aceh, Bangka
Belitung, Bengkulu, Gorontalo, Jambi, Kalimantan Timur,
Kalimantan Selatan,
Kalimantan Tengah, Kepulauan Riau, Lampung, Maluku, Maluku
Utara, Papua, Papua
Barat, Riau, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah,
Sumatera Barat,
Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Sulawesi Tenggara, Kalimantan
Barat dengan
luas 1.001.182 hektare.
Terkait temuan awal ini, Madani berharap
pemerintah
membuka ruang diskusi untuk sama-sama melakukan pengecekan
ulang.
“Inpres 5/2019
juga masih mengandung
pengecualian-pengecualian yang melemahkan perlindungan hutan dan
lahan gambut
yang justru bertambah banyak jumlah dan jenisnya, dan hanya
berlandaskan
Inpres. Inpres tidak memiliki konsekuensi hukum jika tidak
diterapkan dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata M. Teguh Surya,
Direktur Eksekutif
Yayasan Madani Berkelanjutan.
“Pengecualian yang sangat melemahkan
komitmen
perlindungan hutan alam dan lahan gambut adalah pengecualian
terhadap
permohonan yang telah mendapatkan persetujuan prinsip atau izin
penggunaan
kawasan hutan untuk kegiatan eksplorasi dari Menteri Kehutanan
sebelumnya yang
diberikan sebelum 20 Mei 2011, serta perpanjangan izin
pemanfaatan hutan
dan/atau penggunaan kawasan hutan yang telah ada,” tambah Teguh.
“Seharusnya
klausul persetujuan prinsip ini dihilangkan karena sudah
berjalan lebih dari
delapan tahun, bukan justru ditambah dengan izin eksplorasi.”
Presiden juga belum memberikan
instruksi yang jelas
dan tegas untuk mengkaji ulang perizinan dan melakukan penegakan
hukum. Selama
ini, dua hal tersebut tidak pernah tuntas dilakukan sehingga
menyebabkan
Indonesia merugi hingga triliunan rupiah dari praktik buruk
pengelolaan hutan.
Sembilan langkah bijak perlu
dilakukan Presiden
untuk melanjutkan upaya perlindungan hutan dan gambut. Pertama,
segera mengkaji hutan alam sekunder yang paling terancam dan
harus dilindungi
untuk kemudian dimasukkan ke dalam cakupan perlindungan Inpres
5/2019.
Kedua,
membangun mekanisme
pemantauan kolaboratif terhadap pelaksanaan Inpres 5/2019 di
antara pemerintah
dan masyarakat sipil , akademisi dan kelompok kepentingan (interest
groups)
termasuk dalam proses revisi PIPPIB setiap 6 bulan.
Ketiga,
segera melakukan kaji ulang/evaluasi perizinan terhadap
permohonan lahan yang
telah mendapat persetujuan izin prinsip dan izin eksplorasi dari
Menteri
Kehutanan pada pemerintahan sebelumnya dengan melibatkan KPK dan
menghilangkan
klausul ini dari daftar pengecualian.
Keempat,
segera memasukkan diktum yang mengatur kaji ulang/ evaluasi
perizinan
menyeluruh terhadap semua izin pemanfaatan dan penggunaan
kawasan hutan dari
aspek kepatuhan terhadap hukum dan aspek persyaratan kelestarian
sesuai dengan
rekomendasi KPK dalam Laporan Evaluasi Gerakan Nasional
Penyelamatan Sumber
Daya Alam;
Kelima, memasukkan agenda harmonisasi
dan sinkronisasi
regulasi hutan dan gambut dengan melibatkan Kementerian Hukum
dan HAM sebagai leading
sector bersama kementerian-kementerian dan lembaga terkait
dengan
melibatkan partisipasi efektif masyarakat sipil.
Ketujuh, melibatkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai pihak yang diinstruksikan dalam Inpres Moratorium Hutan/Lahan.
Kedelapan, Presiden agar segera memberikan dasar hukum yang lebih kuat untuk kebijakan ini, apakah dengan menerbitkan kebijakan ini dalam bentuk regulasi (misalnya Peraturan Presiden) atau segera mengintegrasikan wilayah yang dilindungi Inpres No. 5 Tahun 2019 ini ke dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW).
Kesembilan, memasukkan perhutanan sosial secara eksplisit ke dalam pengecualian kebijakan ini karena perhutanan sosial adalah bagian dari kebijakan pemerataan ekonomi Presiden Joko Widodo dan tercantum pada regulasi Proyek Strategis Nasional (PSN), serta tercantum dalam Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024 sebagai salah satu prioritas dalam pengentasan kemiskinan. (Marwan Azis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar