Pemerintah
Kabupaten Wakatobi terus berkomitmen melibatkan masyarakat hukum adat dalam
menangani permasalahan sampah. Harapannya, sampah yang ada di kawasan taman
nasional itu mampu dikendalikan dengan baik.
Selama
ini, sampah plastik sekali pakai telah menjadi musuh bersama. Bersama
masyarakat adat, pemerintah berkeinginan agar sampah plastik bisa dikelola dan
dikendalikan secara baik.
"Khusus
sampah plastik, bisa disaksikan, kita tak lagi gunakan kemasan plastik. Ini sudah
ada aturannya. Artinya, pemerintah hadir memberi contoh kepada masyarakat ",
ujar Bupati Wakatobi Arhawi saat ditemui di kantornya.
Masyarakat
di pulau-pulau Wakatobi sangat menghargai kearifan lokal. Keberadaan komunitas
adat sangat dihormati, karena merupakan bagian dari identitas mereka.
"Harapannya,
ketika masyarakat adat dilibatkan, maka mereka ikut menyukseskan program
pengendalian sampah yang ditetapkan pemerintah", ujar Arhawi.
Selama
ini, pelibatan masyarakat adat telah diatur dalam Peraturan Bupati (Perbup)
yang didalamnya terkandung tanggungjawab dan apresiasi pemerintah daerah. Bahkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) juga menaruh perhatian besar terhadap keberadaan masyarakat adat.
"Setiap
tahunnya masyarakat adat mendapat bantuan dari KLHK untuk mengelola sampah. Besarnya
50-70 juta/ komunitas adat.", ungkap Arhawi.
Menurut
Arhawi, masyarakat Wakatobi sangat menghargai komunitas adat Sementara Perbup hanya
mengatur tentang pelibatan masyarakat adat yang mencakup pengawasannya saja.
"Pengendalian
sampah, sebenarnya tidak masuk wilayah hukum adat, tetapi adanya peraturan
bupati tentang pengendalian sampah, mensyaratkan pemerintah dan masyarakat
hukum adat harus bekerja bersama", ujar Arhawi.
Sementara
itu, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Wakatobi, Jaemuna menyebut masyarakat
hukum adat memang memiliki aturan dan sanksi tersendiri. Namun masyarakat adat
mampu bersinergi dengan pemerintah dalam pengelolaan sampah.
Bahkan,
dalam pengelolaan sumber daya laut, khususnya yang menjadi perhatian Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jaemuna menyebut kehadiran masyarakat
hukum adat sangat membantu. Pelibatan
masyarakat hukum terbukti penting, sebab saat tetua adat berbicara atau
menyampaikan sesuatu, maka masyarakatnya akan patuh.
“Karena
adat sangat dihargai masyarakat, sehingga apapun yang disampaikan untuk
kebijakan bersama pada umumnya diterima dengan baik,” katanya.
Insenerator
di setiap desa
Pemerintah
Kabupaten Wakatobi terus berupaya menyelesaikan persoalan sampah di pulau-pulau
kecil yang letaknya berjauhan. Salah satunya dengan menghadirkan teknologi tepat
guna.
"Di
tingkat desa sudah ada alatnya. Masyarakat tidak perlu lagi membuang sampah ke pantai.
Sementara sampah plastik masih bisa diolah kembali", ujar Arhawi.
Teknologi
yang dimaksud Arhawi adalah insenerator atau alat pembakar sampah. Setidaknya
sudah ada 2 insenerator yang disiapkan untuk memudahkan masyarakat mengelola
sampah mereka.
"Masing-masing
ada di Liya dan Tomia. Saya juga sudah minta kementerian agar program ini
dilanjutkan", katanya.
Menurut
Arhawi, insenerator dioperasikan menggunakan teknologi pembakaran pada suhu
tertentu. Nantinya setiap desa akan memiliki insenerator, dimana dananya disiapkan
dari APBD yang didalamnya termasuk anggaran untuk Dinas Lingkungan Hidup Kab.
Wakatobi.
"Jadi
dinas LH disamping mengendalikan sampah, juga mendapat dukungan kendaraan operasional.
Kendaraan itu akan mengangkut sampah di setiap pelosok kampung" ujar Arhawi.
Kebijakan
ini penting dilakukan, sebab menjadi tugas pemerintah bersama-sama masyarakat,
agar pengelolaan sampah plastik bisa dikendalikan dengan baik. Apalagi Wakatobi
termasuk dalam 10 destinasi prioritas nasioaal yang banyak dikunjungi
wisatawan.
4
Hektare untuk TPA Sampah
Selain
menyiapkan insenerator dan kendaraan pengangkut sampah, Pemerintah Kabupaten
Wakatobi juga menyiapkan empat hektare lahan untuk dijadikan tempat pembuangan
akhir (TPA) sampah. Ini merupakan upaya memaksimalkan pengelolaan sampah di Wakatobi.
Tempat
pengelolaan sampah akan dibangun di tiga pulau besar, yakni Kaledupa, Tomia dan
Binongko. Masing-masing luasnya 1 hektare di Kaledupa, 1,5 hektare di Tomia dan
1,5 hektare di Binongko.
"Sementara
untuk Pulau Wangi-wangi selaku ibukota kabupaten telah beroperasi sejak lama",
ujar Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Wakatobi Jaemuna saat ditemui di
kantor bupati.
Lahan-lahan
tersebut disiapkan sebagai bentuk komitmen Pemerintah Kabupaten Wakatobi dalam
menangani sampah, termasuk sampah di laut yang ditangani bersama Dinas Kelautan
dan Perikanan Wakatobi.
"Tentunya
dengan itu terumbu karang di Wakatobi tumbuh dengan baik, tidak terganggu oleh
sampah yang menempel," ujarnya.
Tak
hanya menyiapkan lahan, komunikasi dengan para camat dan lurah juga dimaksimalkan.
Pasalnya, Dana Desa juga mencakup kegiatan pengelolaan lingkungan di wilayah desa.
"Kami
hanya berkoordinasi agar pengelolaan sampah di lingkungan masing-masing diarahkan
untuk ditangani oleh desa dan kelurahan," kata Jaemuna
Khusus
untuk Pulau Wangi-wangi, menurut Jaemuna telah dilakukan bersama-sama antara
Dinas Lingkungan Hidup dan pemerintah desa serta lurah. Di samping itu,
masyarakat juga dikenakan iuran sampah yang berbeda-beda untuk setiap jenisnya.
Masyarakat
Kian Kritis
Masyarakat
Wakatobi sangat kritis menyikapi penanganan sampah yang dilakukan pemerintah.
Pemerintah menganggapnya sebagai masukan yang positif, sebagai bagian dari fungsi
pengawasan, mengingat Perbup soal sampah telah lebih dahulu ada.
"Saat
ini, daya kritis/ kontrol masyarakat semakin tinggi. Sehingga 1 tumpukan sampah
saja, langsung dipublish ke media, seolah-olah kita tidak peduli
terhadap sampah" ujar Bupati Wakatobi, Arhawi.
Padahal
menurut Arhawi ketika ia melakukan perjalanan dinas ke Kendari atau Buton
Utara, seolah-olah hanya Wakatobi yang peduli terhadap sampah plastik. Sementara,
di teluk Kendari yang merupakan ibukota provinsi, yang juga ikon provinsi Sulawesi
Tenggara Arhawi kerap mengeluhkan sampah
yang berserakan.
"Kenapa
jika ada sampah sedikit saja di Wakatobi, langsung menjadi sorotan. Padahal
posisi Wakatobi ada di tenggaranya Sulawesi Tenggara, dimana kita menerima kiriman sampah dari berbagai daerah
setiap tahunnya", papar Arhawi.
Karena
itu, Arhawi menyebut pengendalian sampah membutuhkan dana dan tenaga yang
besar. Itu sebabnya, kerjasama dengan 17 kabupaten/ kota se Sulawesi Tenggara
perlu digiatkan terkait penanganan sampah.
"Kemarin
rilis terakhir tentang sampah plastik di dunia, kita masuk urutan kedua setelah
China. Kalo cuma Wakatobi saja yang peduli terhadap sampah, maka gimana caranya
ini, semua harus terlibat", kata Arhawi.
Lebih
lanjut, Arhawi menyebut perbup tentang sampah seharusnya memiliki landasan yang
lebih besar, yakni Peraturan Daerah (Perda). Perda seharusnya tidak bertentangan
dengan aturan dibawahnya (baca: Perbup), sebagaimana arahan Presiden Jokowi.
Khusus
di Wakatobi, Arhawi menilai Perbub yang dikeluarkannya telah menghasilkan kesadaran
masyarakat terhadap pengendalian sampah.
"Lihat
saja, di jalan-jalan hampir tidak ada sampah, kan? Masyarakat sudah sadar,
bahwa sampah bukan saja untuk kepentingan Wakatobi semata, tetapi untuk
kepentingan Indonesia dan dunia", pungkasnya.***
-->
Tidak ada komentar:
Posting Komentar